Kamis, 19 Mei 2016

HUKUM PERJANJIAN


Dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

A.    STANDAR KONTRAK
Standar Kontrak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen.
Di Indonesia kita ketahui ada tindakan Negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dengan majikannya. Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasan berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi saja yang mempunyai kekuatan hukum untuk membatasi bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

B.     MACAM MACAM PERJANJIAN
1. Perjanjian Jual-beli
2. Perjanjian Tukar Menukar
3. Perjanjian Sewa-Menyewa
4. Perjanjian Persekutuan
5. Perjanjian Perkumpulan
6. Perjanjian Hibah
7. Perjanjian Penitipan Barang
8. Perjanjian Pinjam-Pakai
9. Perjanjian Pinjam Meminjam
10. Perjanjian Untung-Untungan

C.     SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju seia-sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mengadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat akal serta pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3.  Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa, suatu perjanjian harus mempunyai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4.  Sebab yang halal
            Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang-Undang, dan bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.

D.    Pembatalan Perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau perikatan. Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan  pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas. Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya  batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu:
·         Pemaksaan
Adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
·         Kehilafan atau Kekeliruan
Apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.

·         Penipuan
Apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan. Keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat) Untuk membujuk para lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak  bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta  pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan. Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak-cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari  paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk  beberapa macam perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.

E.     PENGERTIAN PRESTASI DAN WANPRESTASI
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa :  Memberikan sesuatu; Berbuat sesuatu; Tidak berbuat sesuatu.

Pengertian Wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena : Kesengajaan; Kelalaian; tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian) dan kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).

KESIMPULAN :
            Perjanjian merupakan suatu kesepakatan antara pihak pihak yang berkaitan berhubungan dengan sesuatu hal dimana mereka memiliki wewenang yang sama tanpa ada paksaan dari pihak manapun, prestasi adalah dimana pihak pihak menjalankan kewajiban sesuai dengan perjanjian sedangkan wan prestasi adalah dimana pihak pihak tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan perjanjian

SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar