PEREKONOMIAN INDONESIA ZAMAN SOEHARTO
fatmaaasgh.blogspot.com
7/08/2015 07:21:00 AM
1 Comments
PEREKONOMIAN INDONESIA ZAMAN SOEHARTO
Pada maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan
orde baru dan perhatian lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial, dan juga pertumbuhan ekonomi
yang berdasarkan system ekonomi terbuka sehingga dengan hasil yang baik membuat
kepercayaan pihak barat terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Sebelum rencana pembangunan melalui Repelita
dimulai, terlebih dahulu dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan
politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga
menyusun Repelita secara bertahap dengan target yang jelas, IGGI juga membantu
membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.
Dampak Repelita terhadap perekonomian Indonesia
cukup mengagumkan, terutama pada tingkat makro, pembangunan berjalan sangat
cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun yang relative tinggi.
Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada dekade 1970-an disebabkan
oleh kemampuan kabinet yang dipimpin presiden dalam menyusun rencana, strategi
dan kebijakan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar
dari minyak tahun 1973 atau 1974, juga pinjaman luar negeri dan peranan PMA
terhadap proses pembangunan ekonomi Indonesia semakin besar.
Akibat peningkatan pendapatan masyarakat, perubahan
teknologi dan kebijakan Industrialisasi sejak 1980-an, ekonomi Indonesia
mengalami perubahan struktur dari Negara agrarsi ke Negara semi industri.
1. REPELITA I
TUJUAN : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat
dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan yang menekankan pada
bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam tahap berikutnya.
SASARAN : pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik berat Pelita I adalah pembangunan bidang
pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui
proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian.
KEBIJAKAN :
Memberikan bibit unggul kepada petani dan melakukan
beberapa eksperimen untuk mendapatkan bibit unggul yang tahan hama tersebut.
Memperbaiki infrastuktur yang digunakan oleh sektor
pertanian seperti jalan raya, sarana irigasi sawah dan pasar yang menjadi
tempat dijualnya hasil pertanian.
Melakukan transmigrasi agar lahan yang berada di
kalimantan, sulawesi, maluku dan papua dapat diolah agar menjadi lahan yang
mengahasilkan bagi perekonomian.
SEJARAH SINGKAT REPELITA 1
REPELITA I ini merupakan lam- piran dari
Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di depan Sidang
Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 15 Agustus 1974.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No. XLI/MPRS/1968 dibentuklah Kabinet Pemba- ngunan dengan tugas
pokok melaksanakan Panca Krida.
Dalam rangka melaksanakan krida ke-2 dari Panca Krida Kabinet
Pembangunan, yaitu menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan
Lima Tahun, maka Pemerintah menyu- sun
suatu rencana pembangunan yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 319
tahun 1968 dan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun I atau
Repelita I.
Pelaksanaan Repelita I dimulai pada 1 April 1969
bertepatan dengan dimulainya tahun anggaran baru1969/70,dan dan berakhir
pada 31 Maret 1974 bertepatan dengan berakhirnya tahun anggaran
1973/74 Dengan demikian maka Repelita I meliputi tahun anggaran 1969/70
sampai dengan tahun anggaran 1973/74.
Pelaksanaan Repelita I setiap tahunnya
dituangkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
sehingga pelaksanaan tahun demi tahun termasuk penyediaan biayanya terlebih
dahulu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam
bentuk Undang-undang.
2. REPELITA II
TUJUAN : untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan yang
kuat untuk tahap pembangunan
berikutnya.
SASARAN : Pengembangan sektor pertanian yang
merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan
dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Selain
itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan kerja
KEBIJAKAN :
1. Pemerataan
kesempatan kerja,
2. Pengembangan
golongan ekonomi lemah dalam rangka pemerataan kesempatan berusaha,
3. Pengembangan
koperasi,
4. Transmigrasi
5. Investasi
Pemerintah yang dilaksanakan melalui anggaran pembangunan negara.
6. Menerapkan
prinsip anggaran berimbang
7. Pengadaan
program padat karya
SEJARAH SINGKAT REPELITA II
Laporan ini berisikan hasil pelaksanaan pembangunan
selama lima tahun periode Repelita II yang berlangsung
dari tanggal 1 April 1974 sampai dengan tanggal 31 Maret 1979 dan merupakan
lampiran dari Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di depan Sidang
Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 16 Agustus 1979.
Hasil pelaksanaan dari masing-masing empat tahun
pertama Repelita II telah disampaikan sebagai lampiran Pidato Kenegaraan
Presiden Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus. Laporan kali ini tidak
hanya melaporkan hasil pelaksanaan selama tahun terakhir 1978/79, tetapi juga
mengenai keseluruhan hasil pelaksanaan selama lima tahun dari tahun anggaran
1974/75 sampai dengan tahun ang¬garan 1978/79.
Sesuai dengan GBHN maka tujuan Repelita II adalah
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan
landasan yang kuat untuk tahap pembangunan Repelita III dan selanjutnya. Di
dalam mencapai tujuan tersebut Repelita II melanjutkan usaha
yang telah dijalankan selama Repelita I. Di samping itu Repelita II juga mulai
menggarap secara lebih dalam masalah-masalah yang sejak semula disadari belum
terpecahkan dalam Repelita I misalnya masalah perluasan kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan dan hasil-hasil pembangunan,
masa¬lah pendidikan, kesehatan, koperasi, transmigrasi dan lain-lain.
Segala usaha yang dijalankan selama Repelita II ke
arah tujuan seperti tersebut di atas tetap dilaksanakan secara bertahap,
terpadu dan terus menerus dan selalu berlandaskan pada Trilogi Pembangunan
yaitu pemerataan pembangunan menuju terwujudnya keadilan sosial, pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Ketiga unsur Trilogi Pembangunan ini tetap diusahakan di dalam suatu
keseimbangan yang serasi tanpa ada unsur yang dikorbankan. Usaha ini selama
Repelita II ternyata bukanlah hal yang mudah oleh karena banyaknya
tantangan-tantangan yang dihadapi baik yang bersumber dari luar negeri oleh
karena berbagai krisis ekonomi dunia maupun yang bersumber dari dalam negeri
seperti krisis keuangan Pertamina dan hambatan-hambatan dalam produksi pangan.
PRESTASI REPELITA I & II
Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun
Investasi meningkat dari 11 persen menjadi 24
persen dari PDB selama 10 tahun
Kontribusi tabungan meningkat dari 23 persen
menjadi 55 persen • Sumber penghasilan utama devisa adalah ekspor minyak bumi
kurang lebih 2/3 dari total penerimaan
Inflasi rata-rata 17 persen
Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan 11,8 persen
dari pengeluaran kondisi Boom minyak tahun 1973 dan 1978
Kebijakan devaluasi rupiah dari Rp 415 menjadi Rp
625/$
KESIMPULAN : Dari hasil yang di torehkan oleh
program Repelita 1 dan 2 pemerintah dan masyarakat Indonesia patut bangga
karena hasil yang di capai sudah lumayan memuaskan dibandingkan tahun sebelum
diadakannya program ini.
3. REPELITA III
Pada Repelita III prioritas utama pemerintahan
dalam rencana pembangunan perekonomian indonesia terletak pada sektor pertanian
dimana sektor ini ditujukan pada swasembada pangan. Selain itu juga
dilakukan peningkatan pada sektor industri yang mengelola bahan baku menjadi
barang jadi. Kebijakan pembangunan ini berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
pokok dan penyediaan lapangan kerja . Kewenangan pengelolaan dana pembangunan
disentralisasikan oleh departemen / LPND teknis melalui dokumen DIP dan
desentralisasi oleh daerah melalui dokumen SPABP. Untuk mekanisme penyaluran
dana pembangunan melalui sentarlisasi DIP dan anggaran didaerahkan (SPABP).
adapun mekanisme perencanaan pembangunan yaitu TOP DOWN TRANSISI BOTTOM
UP . Untuk arah kebijakan program pembangunan pada masa ini yaitu berarah
ke pembangunan sektor .
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1979-1984
atau pada masa Repelita III pemerintah memfokuskan rencana pembangunan
perekonomian pada sektor pertanian yang menuju swasembada pangan dan industri
pengolahan bahan baku menjadi barang jadi. Di awali pertumbuhan ekonomi amat
tinggi pada tahun 1980-1981 (1981 : 11%) dan kemudian merosot menjadi 2,2
persen pada tahun 1982 . dan untuk mennagulangi resesi ekonomi (kondisi
ketika produk domestik bruto (GDP) menurun atau
ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama
dua kuartal atau lebih dalam satu tahun) dengan program deregulasi
dan liberalisasi (1983-1988).
pada awal orde baru, strategi pembangunan di
Indonesia lebih diarahkan pada tindakan pembersihan dan perbaikan kondisi
ekonomi yang mendasar, terutama usaha untuk menekan laju inflasi yang sangat
tinggi. Strategi-strategi tersebut kemudian dipertegas dengan ditetapkannya
sasaran-sasaran dan titik berat setiap Repelita (REPELITA atau Rencana Pembangunan
Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah orde baru di
Indonesia) yakni:
Repelita III (1 April 1979 hingga 31
Maret 1984)
Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian
menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baku
menjadi barang selanjutnya. Menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh
resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan
harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita
III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan
untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun
pajak-pajak dalam negeri.
Dalam Repelita III unsur pemerataan lebih
ditekankan dengan tetap memperhatikan "logi" lainnya melalui
kebijaksanaan delapan jalur pemerataan yang intinya adalah:
- Pemerataan kebutuhan pokok rakyat , terutama pangan, sandang, dan perumahan.
- Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan.
- Pemerataan pembagian pendapatan.
- Pemerataan perluasan kesempatan kerja.
- Pemerataan usaha, khususnya bagi golongan ekonomi lemah.
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
- Pemerataan pembangunan antar daerah.
- Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pada akhir tahun Repelita III perkembangan
yang terjadi di lingkup Internasional adalah bahwa nilai dollar menguat,
tingkat bunga riil di AS menguat, dana mengalir ke AS, likuiditas Internasional
meningkat dan semakin beratnya beban utang negara-negara yang sedang erkembang.
4. REPELITA IV
Pada periode Pelita IV ini, letak titik beratnya
hampir sama dengan periode Pelita III. Hanya saja yang membedakan adalah kalau
di Pelita III lebih menekankan pada industri yang mengolah bahan baku menjadi
bahan jadi. Sedangkan pada periode Pelita IV ini lebih ditekankan pada
“meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri,
baik industri berat maupun ringan. Selain itu, yang ditargetkan dalam periode
Pelita IV ini adalah dilakukannya program KB dan rumah untuk keluarga.
Pada periode Pelita IV ini, swasembada pangan dalam
sektor pertanian berhasil dicapai. Terbukti dengan berhasilnya Indonesia
memproduksi beras 25,8 ton pada tahun 1984 dan mendapatkan penghargaan di FAO
(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
Berikut adalah beberapa contoh kebijakan pemerintah
untuk periode ini :
1. Kebijakan
INPRES no.5 tahun 1985 yaitu meningkatkan ekspor nonmigas dan pengurangan biaya
tinggi dengan :
· Pemberantasan
pungutan liar (pungli)
· Memberantas
dan menghapus biaya-biaya siluman
· Mempermudah
prosedur kepabeanan
2. Paket
Kebijakan 6 Mei (PAKEM), yaitu mendorong sektor swasta di bidang ekspor dan
penanam modal.
3. Paket
Devaluasi 1986, karena jatuhnya harga minyak dunia yang didukung dengan
kebijakan pinjaman luar negri.
4. Paket
Kebijakan 25 Oktober 1986, deregulasi bidang perdagagan, moneter, dan penanam
modal dengan cara :
· Penurunan
bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku
· Proteksi
produksi yang lebih efisien
· Kebijakan
penanam modal
5. Paket
Kebijakan 15 Januari 1987. peningkatan efisiensi,inovasi dan produktivitas
beberapa sektor industri menengah keatas untuk meningkatkan ekspor nonmigas.
Program KB dan swasembada pangan berhasil namun
cenderung hanya terdapat di pulau Jawa saja. Beban Hutang luar negeri membesar.
Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian
Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal
sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
Apa yang dialami pada periode Repelita III,
ternyata masih dialami pada periode Repelita IV ini. Bahkan pada periode ini
harga minyak bumi turun sangat tajam. Masalah yang semakin nampak dan dirasakan
adalah masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per
tahun. Pada tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988
diperkirakan akan menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan
hanya 5% pertahun selama Pelita IV. Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit
produksi juga merupakan hambatan bagi berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan
menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan dalam periode
yang amat sulit ini adalah pada tahun 1984 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor
beras (tahun 1980 indonesia mengimpor beras sebanyak 2 juta ton, tahun 1981
mengimpor 0,54 juta ton, tahun 1982 mengimpor 0,31 juta ton, tahun 1983
mengimpor 0,78 juta ton). Dengan demikian devisa yang sebelumnya digunakan
untuk mengimpor beras dapat digunakan untuk keperluan pembangunan. Pedoman
pembangunan pada periode ini adalah GBHN tahun 1983 yang pada intinya tidak
mengalami perubahan dibandingkan dengan GBHN sebelumnya.
Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada
periode ini semakin ditingkatkan dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi
mekanisme pasar, khususnya yang berkaitan dengan aspek moneter, kelancaran arus
barang yang ada pada giliran berikutnya diharapkan dapat meningkatkan produksi
(Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional yang tidak menentu pada
tahun1986/1987 Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat.
Lebih-lebih karena turunnya harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu,
sekali lagi pemerintah memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap
dollar AS sebesar 31% pada 12 September 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada
dasarnya untuk mengamankan neraca pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor
Indonesia, meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mencegah larinya rupiah
ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan devaluasi ini, jumlah
hutang Indonesia semakin besar.
Untuk memperbaiki pola unit produksi yang membuat
biaya ekonomi tinggi sehingga produk Indonesia kurang dapat bersaing di luar
negeri, pemerintah memberlakukan kebijaksanaan 6 Mei 1986. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri dan daya saing
barang ekspor bukan migas melalui pemberian kemudahan tata niaga, fasilitas
pembebasan dan pengembalian bea masuk serta pembentukkan kawasan berikat.
Kemudian pada 30 Juni 1986 Sertifikat Ekspor dihapus. Kebijaksanaan 6 Mei ini
kemudian disempurnakan dengan kebijaksanaan 25 Oktober 1986, sekaligus sebagai
penunjang kebijaksanaan devaluasi 12 September 1986 yang intinya mendorong
ekspor non-migas melalui penggantian sistem bukan tarif menjadi sistem tarif
secara bertahap, juga penyempurnaan ketentuan bea masuk dan bea masuk tambahan.
Sejalan dengan itu bea fiskal ke luar negeri dinaikkan dari Rp 150.000,- per
orang menjadi Rp 250.000,- perorang. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1986
ekspor dalam bentuk barang mentah (rotan, jangat, dan kulit) dilarang.
Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian
Indonesia semakin dibebani dengan meningkatnya hutang luar negeri sebagai
akibat depresiasi mata uang dollar Amerika Serikat terhadap Yen dan DM kurang
lebih sebesar 35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini, APBN tahun 1987/1988
naik kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan anggaran sebelumnya.
Penyebab utamanya adalah bahwa negara minyak sudah
meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15 per barel. Yang juga sedikit
menggembirakan adalah pada tahun 1987 ekspor non-migas telah dapat melampaui
ekspor migas. oleh para pengamat naiknya ekspor non-migas ini disambut dengan
dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas
ini disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan,
namun pengamat yang lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini
disebabkan karena depresiasi dollar Amerika terhadap Yen dan DM, karena
ternyata ekspor indonesia ke Jepang dan Jerman Barat merupakan bagian tindakan
kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia. Pengamatan masih perlu dilakukan untuk
menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5%
per tahun selama Repelita IV sangat sulit dicapai.
5. REPELITA V
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada
sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang
ekspor. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara
Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik
dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka
panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua,
yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses
tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi
menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga
menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari
migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada
tahun 1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama
dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde
Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi
sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan
pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas
tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama
ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai. Gaya
kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh
Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang
berantakan di akhir tahun 1960.
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan
ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan
yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun
1989-1991 ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan deregulasi pemerintah,
yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian
tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan dunia swasta,
yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam ekspansi
ekonomi.
-
Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang besar,
sebagai akibat naiknya permintaan domestik (domestic demand) yang mencakup
tingkat investasi maupun tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh
laju pertumbuhan pesat selama tiga tahun berturut-turut ini dianggap
terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan keuangan moneter (Soemitro
Djojokusumo, 1993).
A. Masalah-masalah yang
dihadapi
· Kecenderungan
terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga
ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan
kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam
hubungan ekonomi internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar
negeri).
a. IndikatorEkspansiEkonomi
· Laju
pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
· Investasi
dunia swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing
berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
b. IndikatorekspansiMoneter
· Jumlah
uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
· Kredit
perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
· Laju
inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
· Defisit
tahun berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan
US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
B. Rencana dan Kebijaksanaan
Pemerintah
-
Berlangsungnya proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat
sehingga memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan
PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas
ini berlangsung terus sepanjang PELITA V (1989/1990 – 1993/1994)
· Kondisi
ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
· Kebijaksanaan
uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu
panas dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
· Meningkatnya
penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun
(1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
· Moneter
/ perbankan
C. Membatasi kredit
bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar terbuka
dengan instrument SBI dan SBPU.
D. Mengawasi likuiditas bank
melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6%
(1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9%
(1992). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan
Rancangan APBN 1994/1995).
6. PELITA VI
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada
sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses
lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan
kapal pun rusak.Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir
tahun 1997.
Semula berawal dari krisis moneter lalu
berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan
terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas ditengah jalan. Kondisi ekonomi yang
kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan,
hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena
pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian
Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat
rapuh. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok
dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan
(Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi
tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan
berkeadilan. Pembagunan tidak merata.
Tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah
wilayah yang menjadi beban negara seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian.
Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian
nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997. Membuat perekonomian Indonesia
gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru
merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
Faktor Penyebab Kegagalan Ekonomi Indonesia Pada
Masa Orde Baru
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, semua
pihak tersentak melihat indikator ekonomi Indonesia. Hanya dalam beberapa
bulan, krisis ekonomi telah memporak-porandakan “keberhasilan” pertumbuhan
ekonomi Indonesia (rata-rata 7-8 %) selama tiga dekade menjadi minus 13 %.
Ironisnya, dalam beberapa bulan kemudian, krisis justru semakin parah dan
mengarah pada potret ekonomi Indonesia yang suram. Misalnya, selama dilanda
krisis, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 80 juta, angka pengangguran
meroket menjadi 20 juta jiwa, bahkan laju inflasi mendekati angka 100 %
(hiperinflasi).
Sikap mental Orde Baru yang tak lagi menghargai supremasi hukum,
hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan hidup memang tak sejalan
dengan gerakan reformasi. Orde Baru bukan menyangkut orang per orang, melainkan
sikap mental dan pola pikir yang mempengaruhi seseorang. Tanpa perubahan
terhadap sikap mental itu, apa pun gerakan reformasi yang dilakukan takkan
berhasil. Karena itu, mentalitas Orde Baru harus diubah. Gerakan reformasi,
lanjutnya, bisa berhasil walaupun dilakukan oleh mereka yang pernah menjadi
pejabat Orde Baru. Asalkan, mereka sudah mengubur mentalitas Orde Baru serta
mengubahnya menjadi sikap mental yang sesuai dengan gerakan reformasi.
Sebaliknya, reformasi bisa gagal walaupun dilaksanakan oleh orang lain, yang
bukan mantan pejabat Orde Baru, tetapi mereka memiliki mentalitas Orde Baru.
Mentalitas Orde Baru, muncul karena penguasa mempunyai kedudukan lebih kuat
dibanding rakyat. Akibatnya, aparat pun merasa harus dilayani oleh rakyat, dan
menempatkan rakyat bagai peminta-minta pelayanan. Padahal, aparat sesungguhnya
harus berperan melayani masyarakat.
Bahkan, dengan porsi kekuasaan pemerintah yang terlalu kuat, rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kasus pertanahan
misalnya, rakyat yang merasa haknya dirampas cuma bisa berunjuk rasa atau
membangun tenda di atas tanahnya. Namun itu tidak akan bertahan lama. Rakyat
pun pasti kalah, BPN tengah melakukan perubahan sikap mental aparatnya.
Pelayanan kepada rakyat di bidang pertanahan kini semakin dipermudah. Orde Baru
bagaikan seorang raksasa yang kini tengah menghadapi sakratul maut. Bahkan
mungkin secara medis raksasa Orde Baru itu sudah mati. Tetapi seperti mahluk
hidup, yang menghadapi ajalnya, raksasa Orde Baru kini sedang
mengge-lepar-gelepar sekarat dan beberapa bagian tubuhnya bergerak tidak
terkendali.
Dibutuhkan
waktu yang panjang untuk dapat mengendalikan gerakan “bagian tubuh” Orde Baru
yang tidak terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan kekerasan untuk
mempercepat kematian Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa baru yang
barangkali akan dihadapi rakyat, seperti menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru,
10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah dan ABRI memilih pendekatan
persuasif, sekalipun butuh waktu dan kesabaran.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah serta ABRI dalam menangani
berbagai kerusuhan, memang bukan suatu yang populer. Akibatnya, ABRI dan
pemerintah dianggap lemah. Banyak tokoh masyarakat yang menghujat pemerintah.
Pemerintah saat ini selalu dalam posisi terpojok, kalah, dan selalu salah.
Sebaliknya, kalangan humas pemerintah kurang mampu menghadapi pendapat
masyarakat yang menyudutkan pemerintah.
Keberhasilan
pembangunan belumlah tentu sebuah keberhasilan. Bahkan, keberhasilan
pembangunan-khususnya selama Orde Baru, bisa menjadi perusakan alam dan
kerugian besar untuk masyarakat daerah. Ini terjadi, karena pelaksanaan
pembangunan kurang memperhatikan analisis dampak sosial. Juga pengaruh
banyaknya pejabat-pejabat yang menguasai sistem-sistem untuk kepentingan diri
mereka masing-masing sebagaimana yang telah menjadi ciri dari pemerintahan dan
masyarakat Orde Baru.
Suatu
golongan yang tidak disenangi kemudian menjadi disenangi, akan ikut membantu
memperlancar perubahan. Namun suatu golongan yang telah berada dalam situasi
yang menyenangkan, menikmati banyak hak istimewa, kekuasaan dan duit, mereka
akan bertahan sekuat mungkin. Itulah keadaan yang terjadi sekarang, golongan
status quo sangat kuat.
Para
pejabat Orde Baru selalu menyatakan penguasaan mereka atas sumber-sumber
ekonomi politik dan birokratik itu untuk kepentingan pembangunan bangsa, dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta janji-janji pemerataan atas hasil-hasil
pembangunan. Namun pada dasawarsa 1980-an, gerakan mahasiswa secara jitu
menemukan fakta bahwa “pembangunan telah memakan korban” bagi warga masyarakat
yang justru tergusur dari tanah mereka. Setiap upaya mempersoalkan nasib rakyat
tak jarang diperhadapkan dengan tudingan “mengganggu jalannya pembangunan”.
Jika mempersoalkannya ke tingkat internasional, aparat Orde Baru menudingnya
sebagai “menjelek-jelekkan bangsa” atau “menjual bangsa” ke pihak asing.
Tujuan nasionalisme Orde Baru sangat jelas, yakni mempertahankan
kepentingan KKN mereka dengan dua target.:
· Kekuatan-kekuatan
rakyat tak dapat berkembang dan tetap lumpuh, sehingga rakyat tak bisa bersuara
atas praktik KKN Orde Baru.
· Mengobarkan
nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia
untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights
violation).
Hasil yang diharapkan pemimpin Orde Baru yang
mengobarkan nasionalisme sempit itu, ada dua hal. Pertama, mereka kebal dari
hukum (impunity). Semua praktik KKN yang mereka jalankan, tidak dapat dihukum,
sehingga kepentingan-kepentingannya tetap lestari. Mereka untouchable-tidak
bisa dijangkau hukum. Kedua, mereka juga bebas bergentayangan melakukan
penindasan hak asasi manusia, memangsa korban dari bangsanya sendiri.
Nasionalisme yang digembor-gemborkan oleh Orde Baru
jelas berusaha keras mematikan gerak aktivis hak asasi manusia dengan berbagai
siasat dan intrik yang kotor. Dengan siasat dan intrik kotor itulah pengibar
nasionalisme ini mengelabui kita semua, sehingga berbagai pelanggaran hak asasi
manusia tidak diungkap dan tidak pula diperkarakan.
Otoritarianisme Orde Baru telah berulang kali
menuduh para aktivis hak asasi manusia sebagai “agen asing” atau “agen Barat”
sambil terus menimbulkan korban-korban atas bangsanya sendiri. Kita semua
terus-menerus berusaha dibenamkan dalam perangkap kesadaran untuk melupakan
kekejaman yang diperbuat Orde Baru atas bangsanya sendiri.
Nasionalisme Orde Baru tak peduli jatuhnya korban
dari bangsanya sendiri yang terhempas menemui ajalnya sejauh kepentingan KKN
tidak digugat rakyat. Bahkan dengan praktik yang berkualifikasi kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) – kejahatan yang merupakan musuh
seluruh umat manusia – jika perlu dilakukannya. Untuk menutupinya pejabat Orde
Baru dan pewarisnya sering menangkalnya dengan pernyataan angkuh: “jangan
campuri urusan dalam negeri Indonesia”.
Pembangunan yang terjadi di zaman Orde Baru pada
awalnya bisa membuat pendapatan per kapita naik empat kali, dari sekitar US$
250 sampai sekitar US$ 1.000 per kapita setahun. Namun kemudian Orde Baru
ternyata hanya menyuburkan korupsi dan memperbesar kesenjangan sosial. Di lain
pihak, secara statistik juga bisa dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan
berkurang. Tingkat kesejahteraan, yang bisa diukur dengan konsumsi per kapita
beras, gandum, BBM, listrik, fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi
umum, dan sebagainya, semua naik banyak. Kalau sekarang, lima tahun sesudah
digempur krisis ekonomi yang dahsyat, tingkat konsumsi publik masih cukup dan sebagian
terbesar masyarakat tidak lapar dan merana –dibandingkan dengan tahun 1966–
maka semuanya ini adalah hasil perbekalan dari zaman Orde Baru.
Sedangkan penanaman modal asing sangat diperlukan
karena divestasi perusahaan-perusahaan yang karena krisis dikuasai oleh negara,
dan juga akibat dari skema debt-equity swap yang dilakukan
perusahaan-perusahaan yang besar beban utangnya kepada pihak luar negeri.
Begitu juga kebijakan lalu lintas devisa sudah tidak baik dipadukan dengan
sistem nilai tukar mata uang tetap, tanpa fundamental ekonomi yang kuat
terhadap pengaruh globalisasi. Memang pemerintahan yang buruk (bad governance)
tercermin dalam maraknya KKN bukan penyebab utama masuknya Indonesia ke dalam
krisis, tetapi hal itu jelas amat memperburuk keadaan.
Setting kapitalisme global terhadap Indonesia
bukanlah suartu hal yang baru dilakukan. Kenaikan rezim Soeharto dulu sedikit
banyaknya mendapat dukungan dari negara-negara maju. Setting itu juga dimainkan
untuk menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya karena praktek korupsi cukup
parah, dukungan yang tadinya diberikan lambat laun dicabut sampai akhirnya
Soeharto terjungkal. Pada masa krisis ekonomi sebelum kejatuhannya, Soeharto
tampak setengah hati menjalankan kebijakan Bank Dunia dan IMF. Tetapi karena
Soeharto tidak mau membubarkan anak-anak dan kroninya, renacana peminjaman dana
itu ditarik kembali. Padahal sebagaian besar Bank-bank itu sudah dalam kedaan
kacau.
Kelemahan Soeharto adalah terlalu membela anak-anak
keluarga dan kroninya. Sehingga Bank Duniapun ditentangnya. Sehingga Saoeharto
tidak dapat dukungan dan jatuh. Bahkan pengusaha dan militer sebagai penopang
utama kekuasaannyapun pada akhirnya tidak memberikan dukungan karena sudah
tidak melihat ada prospek lagi dalam kekuasaannya. Setelah Soeharto jatuh, Bank
Dunia tidak serta merta dapat langsung melakukan kontrol terhadap penguasa baru
di Indonesia.
Rezim pemerintahan Orde Baru yang pada waktu itu
sudah memangalami banyak permasalahan tidak cepat-cepat membereskan masalahnya
sehingga hanya mempersulit dan menambah beban bagi rakyat yang sudah lama
merasa tidak puas. Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan semakin di tambah
dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, lauk-pauk, BBM, yang
notabene merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi rakyat.
Rezim Orde Baru Soeharto akhirnya punya banyak
cacatnya yang menjadi fatal karena tidak terkoreksi secara dini. Seandainya Pak
Harto mau mundur pada pertengahan 1980-an dan cengkeraman sosial-politiknya
bisa dikendurkan, keadaan mungkin sekali tidak separah sekarang. Negara, dan
para pemimpinnya, yang mampu membanting setir demikian adalah RRC, yang sistem
politiknya masih dikendalikan Partai Komunis, akan tetapi ekonominya
direformasikan berdasarkan sistem pasar terbuka yang cukup bebas. Proses
otonomi daerah di RRC senantiasa bisa dikendalikan Beijing, karena semua
gubernur dan bupati diangkat dan diberhentikan pemerintah pusat.
Pembangunan politik dan ekonomi untuk negara besar
seperti Indonesia selalu memerlukan pemerintah yang kuat. Ini hanya ada selama
zaman Soeharto, tetapi dengan pengorbanan demokrasi politik dan sosial.
Satu-satunya masa pendek yang mungkin bisa kita pelajari kembali, kalau mencari
percontohan, adalah masa 1950-1957. Pada masa itu, pengaruh asing (kebanyakan
memang Belanda) masih kuat. Orientasi kebijakan ekonomi masih rasional dan
terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar. Kehidupan politik masih cukup
demokratis, dan partai opisisi ada. Beberapa tokoh yang pragmatik berpengaruh
di bidang ekonomi, yakni Bung Hatta, Sjafruddin, Djuanda, Leimena, Sumitro,
Wilopo, dan sebagainya. Bung Karno masih ada dengan pengaruhnya yang karismatik
dan menyatukan bangsa, akan tetapi ia belum menjadi penguasa utama. Tetapi,
bibit-bibit perpecahan politik sudah ada, dan konflik dunia, demokrasi lawan
komunisme, sudah mulai masuk ke negeri ini. Indonesia memang tidak pernah bisa
mengasingkan diri dari pengaruh-pengaruh dunia, baik politik maupun ekonomi.
Dalam membangun negara, kita harus membedakan
antara state building dan nation building. Dalam tahap pertama, kita lebih
berhasil dalam hal nation building, dan jasa Bung Karno tidak boleh dilupakan.
Nation building selama 50 tahun dilakukan dan dilestarikan berdasarkan wacana
melting pot, seperti di Amerika, di mana suku-suku bangsa kaum imigran yang
menyusun Amerika harus melebur diri menjadi prototipe bangsa Amerika yang
Anglosax dan Protestan. Ikanya lebih penting daripada bhinnekanya. Setelah 50
tahun, model nation building ini harus kita tinggalkan. Kebinekaan harus lebih
ditonjolkan, akan tetapi kesatuan bangsa dan negara harus dipelihara, kalau
bisa secara alami, atas dasar keyakinan nasional bahwa hidup sebagai warga
bangsa besar lebih sentosa daripada sebagai warga negara kecil. Tetapi,
terutama elite politik di Jakarta dan di Jawa, lagi pula TNI, harus mengubah
wacana-wacananya. Sampai sekarang, konsensus yang praktis masih dicari.
State building rupanya jauh lebih sulit daripada
nation building. Para peninjau asing yang kompeten (ahli ilmu politik) pada umumnya
tidak terlalu menyangsikan bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni Soviet dan
Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih cukup kuat, walaupun sudah mengalami
erosi. Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah bahwa pemerintahnya
lemah. “Indonesia is not a failed state but a weak state”. Pemerintah di
Jakarta lemah oleh karena terperangkap dalam proses demokratisasi.
Lemahnya pemerintah dan negara dewasa ini oleh
karena alat-alat penegak kekuasaan tidak berfungsi: tentara, polisi, jaksa,
hakim, sistem peradilan, dan sebagainya. Moral serta perasaan tanggung jawabnya
dirusak oleh KKN dan oleh karena negara tidak bisa menjamin gaji dan balas jasa
yang wajar. Maka, krisis ekonomi memperparah efektivitas aparat pemerintah dan
negara. Anggaran belanja pemerintah terlalu digerogoti pembayaran kembali utang
dan bunga. Beban utang ini ikut menyebabkan weak state. Ini mempermasalahkan
untung dan ruginya bantuan internasional, juga peran asing (dan yang
“nonpribumi”) di perekonomian kita.
Perlukah kita akan mereka, atau kita harus
menegakkan kedaulatan serta kemurnian “negara pribumi” kita? Secara logis dan
historis empiris, jawabnya: Indonesia tidak bisa keluar dari krisis dan
kelemahan tanpa bantuan dari luar dan tanpa membuka diri terhadap unsur-unur
asing dan yang nonpribumi. Ada kalangan (politisi pribumi) yang secara bangga
mengatakan, kita bisa berdiri sendiri berdasarkan kekayaan alam kita.
Pengalaman zaman Bung Karno sudah memberi pelajaran. Tidak ada gunanya mengusir
Belanda, Cina, asing Barat, dan menolak penanaman modal asing. Bung Karno pun
membuat pengecualian: perusahaan minyak bumi asing (Caltex dan Stanvac) yang
sudah ada tidak diusir karena hasil devisa diperlukannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suroso,P.C.1997. Perekonomian Indonesia.Jakarta:
Penerbit PT. Gramedia Pustaka
http://fatihahfiqia.blogspot.com/2011/12/pelaksanaan-pembangunannasional.html http://ayucintyavirayasti.blogspot.com/2011/02/dampak-repelita-terhadap-perekonomian_28.html